Saya tercatat
sebagai Mahasiswa IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah –
Jakarta pada tahun 2001, sekarang kampus itu telah berganti nama menjadi UIN
(Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah. Saat itu, bisa dikatakan kalau
IAIN tergolong kampus yang murah pembiayaan untuk satu semester. Hanya dengan
uang tiga ratus ribuan, saya sudah bisa menikmati laju pendidikan di sana.
Biaya perkuliahan murah bisa bertahan sampai saya lulus dengan gelar sarjana.
Terlahir dari keluarga sederhana dan terdidik untuk terbiasa hidup dengan kesederhanaan, membentuk pola pikir saya untuk tidak menghabiskan hidup hanya dengan berfoya-foya. Bukan berarti saya pasrah juga dengan kehidupan, sebab hidup adalah perjuangan. Hal inilah yang melatar-belakangi, mengapa akhirnya saya memilih untuk kuliah di IAIN. Selain karena biaya pendidikan yang terjangkau dibandingkan beberapa kampus lain, saya masih tetap bisa mendapatkan ilmu akademik di sana.
Begitu dinyatakan lulus ujian masuk kampus IAIN, saya sangat bersyukur. Saya bisa melanjutkan perjuangan hidup ini dengan memasuki dunia baru. Yang harus saya perhatikan adalah tidak mengabaikan “kesederhanaan” yang diajarkan keluarga. Saya pun membuat pos-pos keuangan dalam pengaturannya. Mana biaya untuk transportasi, mana biaya untuk tugas kuliah dan beli buku, mana biaya untuk makan siang, serta mana biaya untuk kebutuhan mendesak. Semua uang masuk dalam pos-posnya ketika Ayah memberikan uang secara cash.
Kerjasama ini tentu saja membantu pengiriman uang dari Ayah ke KTM saya. Tanpa perlu pulang ke rumah, saya bisa mendapatkan uang dan mulai mempos-poskan jumlah uang itu berdasarkan kebutuhan saya. Kalau tidak ada kerjasama ini, saya tidak mungkin memiliki ATM BNI. Dampaknya, mau tidak mau saya harus membuka tabungan di bank untuk mendapatkan ATM. Tapi karena BNI melakukan kerjasama dengan IAIN Syarif Hidayatullah, saya tidak perlu memusingkan kepala memikirkan perihal ATM yang sangat saya butuhkan saat itu.
Saya yang di awal perkuliahan hanya fokus belajar dan mengembangkan diri dalam organisasi IMM dan kepengurusan di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, sekarang juga harus fokus bekerja demi menuntaskan kuliah. Tentunya ada hal yang saya korbankan di sini. Saya tidak lagi aktif dalam organisasi. Waktu saya habis digunakan untuk belajar di kampus dan bekerja sebagai karyawan.
Bahkan yang membuat saya sedih, saya tidak lagi bisa menghabiskan waktu dengan teman-teman setelah jam kuliah usai. Hanya untuk sekadar ngobrol-ngobrol di taman kampus pun tidak bisa, apalagi jalan-jalan ke beberapa tempat yang tidak jauh dari kampus sebagai rileksasi. Usai jam kuliah, saya harus berlari mengejar jam kerja. Alhamdulillah, jarak antara kampus dengan tempat kerja saya, tidak terlalu jauh. Tapi karena jalanan sepanjang kampus menuju tempat kerja sering macet, saya suka terlambat sampai 10 menit.
Apapun yang saya lakukan dan korbankan, pada akhirnya terapresiasikan dengan gaji kerja yang diberikan bagian keuangan tempat saya kerja, secara cash di dalam amplop. Dengan proses pemberian gaji seperti itu, saya tidak perlu repot membuka bank lagi. BNI bisa saya gunakan untuk menabung. Hal itu saya lakukan, tentu setelah saya masukkan uang pada pos-pos keperluan ini dan itu. Tapi karena kebutuhan saya semakin banyak, maka uang yang ada di KTM pun perlahan-lahan saya ambil. Sampai suatu ketika, menjelang akhir bulan, saldo saya tidak cukup untuk dikeluarkan dari mesin ATM BNI. Saya pun meminta teman untuk memancing dari KTM-nya. Dia mentransferkan sejumlah uang ke rekening saya, sehingga saya bisa mengambil limit terendah yang ditentukan mesin ATM BNI.
Masa-masa seperti itu, sering saya menyebutnya sebagai masa krisis. Di mana pada masa itu, saya harus memutar otak agar bisa tetap memiliki uang sendiri. Dan dengan “sedikit” bantuan teman, saya pun bisa mengambil uang di BNI. Masa krisis saya pun bisa teratasi sampai saya mendapatkan gaji di akhir bulan, meski saya harus mengirit segala kebutuhan. Uang krisis itu hanya dipergunakan untuk kebutuhan yang sifatnya mendesak saja.
Kepenyairan menjadi salah satu seni yang saya tekuni. Bukan hanya sekadar menulis puisi dan dibukukan dengan penyair lainnya, saya juga melakoni pembacaan puisi di beberapa panggung. Ada beberapa yang memberikan saya honor, ada pula yang saya lakoni secara sukarela. Tiga EO (Event Organizer) yang baru merintis pun pernah menempatkan saya sebagai salah satu anggota intinya. Namun tepat di akhir tahun 2007, saya terjun dalam dunia skenario sebagai penulis skenario freelance. Dunia inilah yang sampai detik ini menjadi pilihan salah satu dari karir kepenulisan saya.
Meski saya kembali lagi bekerja sebagai tenaga freelance—yang pendapatannya tidak tetap karena tergantung program drama yang sedang berjalan dan saya diikut-sertakan dalam team, saya tetap harus menabung. Namun karena posisi saya sudah lulus kuliah, maka KTM tidak saya gunakan lagi. Saya memutuskan untuk membuka rekening baru di bank BNI dengan setoran pertama yang terjangkau honor saya sebagai co-writer.
Sayangnya, saat saya tidak memiliki program drama untuk ditulis dalam waktu yang cukup lama, membuat saldo di tabungan saya semakin berkurang. Pemasukan tidak ada, tapi pengeluaran terus berjalan. Inilah yang membuat saldo tabungan saya habis, sampai akhirnya rekening BNI saya secara otomatis ditutup pihak bank.
Berdasarkan pengalaman dari beberapa online shop yang sudah terkenal, BNI ternyata juga masuk dalam daftar bank yang harus dimiliki pemilik online shop. Artinya saya juga harus membuka rekening bank di BNI, karena bank ini akan sangat mendukung usaha saya. Selain itu, berdasarkan rekomen keluarga dan beberapa teman, saya dianjurkan untuk membuka rekening tabungan BNI untuk masa depan anak dan keluarga kecil saya ini.
Saya pun segera memelajari info yang diberikan BNI di situs resminya dan beberapa testimoni nasabah BNI yang tersebar di internet. Selain ingin membuka BNI Taplus untuk mendukung usaha online shop, saya juga ingin membuka BNI Tapenas untuk masa depan anak dan keluarga kecil saya. Tapi untuk semua itu, saya harus bersabar sampai akhir Agustus 2015 karena KTP saya masih tercatat sebagai warga Tangerang, sementara saya sudah pindah ke Kuningan – Jawa Barat.
Terlahir dari keluarga sederhana dan terdidik untuk terbiasa hidup dengan kesederhanaan, membentuk pola pikir saya untuk tidak menghabiskan hidup hanya dengan berfoya-foya. Bukan berarti saya pasrah juga dengan kehidupan, sebab hidup adalah perjuangan. Hal inilah yang melatar-belakangi, mengapa akhirnya saya memilih untuk kuliah di IAIN. Selain karena biaya pendidikan yang terjangkau dibandingkan beberapa kampus lain, saya masih tetap bisa mendapatkan ilmu akademik di sana.
Begitu dinyatakan lulus ujian masuk kampus IAIN, saya sangat bersyukur. Saya bisa melanjutkan perjuangan hidup ini dengan memasuki dunia baru. Yang harus saya perhatikan adalah tidak mengabaikan “kesederhanaan” yang diajarkan keluarga. Saya pun membuat pos-pos keuangan dalam pengaturannya. Mana biaya untuk transportasi, mana biaya untuk tugas kuliah dan beli buku, mana biaya untuk makan siang, serta mana biaya untuk kebutuhan mendesak. Semua uang masuk dalam pos-posnya ketika Ayah memberikan uang secara cash.
BNI
membantu pengiriman uang
Tiba waktunya saya memutuskan belajar mandiri dengan masuk asrama putri organisasi ekstra kampus IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) cabang Ciputat. Sejak saat itu, saya tidak bisa setiap saat pulang ke rumah, terlebih kalau tugas kampus menumpuk dan IMM sedang banyak kegiatan. Sementara itu, keuangan dalam dompet saya semakin menipis. Satu solusi yang saya temukan adalah bantuan dari BNI (Bank Negara Indonesia).
BNI yang telah bekerjasama dengan perguruan tinggi sejak 1963, memasukkan kampus IAIN Syarif Hidayatullah – Jakarta ke dalam daftarnya. Dari hasil kerjasama itu, Mahasiswa mendapatkan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) yang merangkap sebagai ATM (Anjungan Tunai Mandiri/Automatic Teller Machine), sehingga secara otomatis ketika seseorang masuk dalam perguruan tinggi yang bekerja sama dengan BNI, maka orang itu yang kemudian disebut sebagai Mahasiswa memiliki ATM BNI.
Tiba waktunya saya memutuskan belajar mandiri dengan masuk asrama putri organisasi ekstra kampus IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) cabang Ciputat. Sejak saat itu, saya tidak bisa setiap saat pulang ke rumah, terlebih kalau tugas kampus menumpuk dan IMM sedang banyak kegiatan. Sementara itu, keuangan dalam dompet saya semakin menipis. Satu solusi yang saya temukan adalah bantuan dari BNI (Bank Negara Indonesia).
BNI yang telah bekerjasama dengan perguruan tinggi sejak 1963, memasukkan kampus IAIN Syarif Hidayatullah – Jakarta ke dalam daftarnya. Dari hasil kerjasama itu, Mahasiswa mendapatkan KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) yang merangkap sebagai ATM (Anjungan Tunai Mandiri/Automatic Teller Machine), sehingga secara otomatis ketika seseorang masuk dalam perguruan tinggi yang bekerja sama dengan BNI, maka orang itu yang kemudian disebut sebagai Mahasiswa memiliki ATM BNI.
Kerjasama ini tentu saja membantu pengiriman uang dari Ayah ke KTM saya. Tanpa perlu pulang ke rumah, saya bisa mendapatkan uang dan mulai mempos-poskan jumlah uang itu berdasarkan kebutuhan saya. Kalau tidak ada kerjasama ini, saya tidak mungkin memiliki ATM BNI. Dampaknya, mau tidak mau saya harus membuka tabungan di bank untuk mendapatkan ATM. Tapi karena BNI melakukan kerjasama dengan IAIN Syarif Hidayatullah, saya tidak perlu memusingkan kepala memikirkan perihal ATM yang sangat saya butuhkan saat itu.
BNI memberikan
solusi di masa krisis
Memasuki semester 5, Ayah angkat tangan menyoal kuliah saya. Tapi Ayah juga memberikan solusi agar saya kuliah sambil bekerja. Sungguh, sebenarnya Ayah telah membuka pintu untuk perjuangan saya ke depan. Saya harus mulai merasakan bahwa hidup memang keras. Saya harus berjuang untuk bertahan di dalamnya. Di semester itulah, saya bekerja sebagai tenaga freelance di salah satu perusahaan retail.
Memasuki semester 5, Ayah angkat tangan menyoal kuliah saya. Tapi Ayah juga memberikan solusi agar saya kuliah sambil bekerja. Sungguh, sebenarnya Ayah telah membuka pintu untuk perjuangan saya ke depan. Saya harus mulai merasakan bahwa hidup memang keras. Saya harus berjuang untuk bertahan di dalamnya. Di semester itulah, saya bekerja sebagai tenaga freelance di salah satu perusahaan retail.
Saya yang di awal perkuliahan hanya fokus belajar dan mengembangkan diri dalam organisasi IMM dan kepengurusan di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, sekarang juga harus fokus bekerja demi menuntaskan kuliah. Tentunya ada hal yang saya korbankan di sini. Saya tidak lagi aktif dalam organisasi. Waktu saya habis digunakan untuk belajar di kampus dan bekerja sebagai karyawan.
Bahkan yang membuat saya sedih, saya tidak lagi bisa menghabiskan waktu dengan teman-teman setelah jam kuliah usai. Hanya untuk sekadar ngobrol-ngobrol di taman kampus pun tidak bisa, apalagi jalan-jalan ke beberapa tempat yang tidak jauh dari kampus sebagai rileksasi. Usai jam kuliah, saya harus berlari mengejar jam kerja. Alhamdulillah, jarak antara kampus dengan tempat kerja saya, tidak terlalu jauh. Tapi karena jalanan sepanjang kampus menuju tempat kerja sering macet, saya suka terlambat sampai 10 menit.
Apapun yang saya lakukan dan korbankan, pada akhirnya terapresiasikan dengan gaji kerja yang diberikan bagian keuangan tempat saya kerja, secara cash di dalam amplop. Dengan proses pemberian gaji seperti itu, saya tidak perlu repot membuka bank lagi. BNI bisa saya gunakan untuk menabung. Hal itu saya lakukan, tentu setelah saya masukkan uang pada pos-pos keperluan ini dan itu. Tapi karena kebutuhan saya semakin banyak, maka uang yang ada di KTM pun perlahan-lahan saya ambil. Sampai suatu ketika, menjelang akhir bulan, saldo saya tidak cukup untuk dikeluarkan dari mesin ATM BNI. Saya pun meminta teman untuk memancing dari KTM-nya. Dia mentransferkan sejumlah uang ke rekening saya, sehingga saya bisa mengambil limit terendah yang ditentukan mesin ATM BNI.
Masa-masa seperti itu, sering saya menyebutnya sebagai masa krisis. Di mana pada masa itu, saya harus memutar otak agar bisa tetap memiliki uang sendiri. Dan dengan “sedikit” bantuan teman, saya pun bisa mengambil uang di BNI. Masa krisis saya pun bisa teratasi sampai saya mendapatkan gaji di akhir bulan, meski saya harus mengirit segala kebutuhan. Uang krisis itu hanya dipergunakan untuk kebutuhan yang sifatnya mendesak saja.
Taplus Mahasiswa dan KTM yang masih saya simpan sampai saat ini. |
BNI di awal
karir
Tahun 2007, akhirnya saya dinyatakan lulus dengan gelar sarjana. Meski belajar aktif telah selesai di semester 8, nyatanya saya tidak langsung meluluskan diri. Selama dua tahun-sebelum akhirnya saya fokus mengerjakan skripsi, saya yang tidak lagi bekerja sebagai tenaga freelance di sebuah perusahaan retail, memutuskan untuk mengajar private di beberapa tempat sekaligus mengembangkan hobi di bidang seni.
Tahun 2007, akhirnya saya dinyatakan lulus dengan gelar sarjana. Meski belajar aktif telah selesai di semester 8, nyatanya saya tidak langsung meluluskan diri. Selama dua tahun-sebelum akhirnya saya fokus mengerjakan skripsi, saya yang tidak lagi bekerja sebagai tenaga freelance di sebuah perusahaan retail, memutuskan untuk mengajar private di beberapa tempat sekaligus mengembangkan hobi di bidang seni.
Kepenyairan menjadi salah satu seni yang saya tekuni. Bukan hanya sekadar menulis puisi dan dibukukan dengan penyair lainnya, saya juga melakoni pembacaan puisi di beberapa panggung. Ada beberapa yang memberikan saya honor, ada pula yang saya lakoni secara sukarela. Tiga EO (Event Organizer) yang baru merintis pun pernah menempatkan saya sebagai salah satu anggota intinya. Namun tepat di akhir tahun 2007, saya terjun dalam dunia skenario sebagai penulis skenario freelance. Dunia inilah yang sampai detik ini menjadi pilihan salah satu dari karir kepenulisan saya.
Meski saya kembali lagi bekerja sebagai tenaga freelance—yang pendapatannya tidak tetap karena tergantung program drama yang sedang berjalan dan saya diikut-sertakan dalam team, saya tetap harus menabung. Namun karena posisi saya sudah lulus kuliah, maka KTM tidak saya gunakan lagi. Saya memutuskan untuk membuka rekening baru di bank BNI dengan setoran pertama yang terjangkau honor saya sebagai co-writer.
Sayangnya, saat saya tidak memiliki program drama untuk ditulis dalam waktu yang cukup lama, membuat saldo di tabungan saya semakin berkurang. Pemasukan tidak ada, tapi pengeluaran terus berjalan. Inilah yang membuat saldo tabungan saya habis, sampai akhirnya rekening BNI saya secara otomatis ditutup pihak bank.
BNI pilihan masa
depan
Saya harus memaksakan diri untuk bekerja lebih giat agar kasus penutupan rekening bank secara otomatis, tidak terjadi lagi. Salah satunya adalah dengan mengembangkan online shop doyan_sehat dan doyan_koleksi yang menjadi usaha saya, selain bekerja sebagai penulis skenario freelance. Setelah mengamati sekian banyak bank yang ada, ternyata BNI menjadi salah satu bank yang sangat diminati banyak orang.
Saya harus memaksakan diri untuk bekerja lebih giat agar kasus penutupan rekening bank secara otomatis, tidak terjadi lagi. Salah satunya adalah dengan mengembangkan online shop doyan_sehat dan doyan_koleksi yang menjadi usaha saya, selain bekerja sebagai penulis skenario freelance. Setelah mengamati sekian banyak bank yang ada, ternyata BNI menjadi salah satu bank yang sangat diminati banyak orang.
Berdasarkan pengalaman dari beberapa online shop yang sudah terkenal, BNI ternyata juga masuk dalam daftar bank yang harus dimiliki pemilik online shop. Artinya saya juga harus membuka rekening bank di BNI, karena bank ini akan sangat mendukung usaha saya. Selain itu, berdasarkan rekomen keluarga dan beberapa teman, saya dianjurkan untuk membuka rekening tabungan BNI untuk masa depan anak dan keluarga kecil saya ini.
Saya pun segera memelajari info yang diberikan BNI di situs resminya dan beberapa testimoni nasabah BNI yang tersebar di internet. Selain ingin membuka BNI Taplus untuk mendukung usaha online shop, saya juga ingin membuka BNI Tapenas untuk masa depan anak dan keluarga kecil saya. Tapi untuk semua itu, saya harus bersabar sampai akhir Agustus 2015 karena KTP saya masih tercatat sebagai warga Tangerang, sementara saya sudah pindah ke Kuningan – Jawa Barat.
Perjuangan
hidup memang harus dilakukan siapapun, termasuk saya. Banyak orang yang menjadi
saksi bagaimana seseorang bertahan dalam menjalani kehidupannya. Selain orang,
ada juga bank yang melakukan itu. Buat saya, BNI adalah saksi perjuangan hidup.
Dan dia juga menjadi saksi untuk masa depan yang akan saya raih bersama keluarga
kecil dan usaha yang saya sedang kembangkan. Terima kasih, BNI.
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blogging BNI |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar